Tentu bukan informasi baru kalau Asyuro menjadi ikon budaya islam baik suni maupun syiah dari sejak peristiwa itu terjadi sampai sekarang. Di Bengkulu, Asyuro ditandai dengan arak-arakan keranda aebagai simbol kesyahidan seorang pejuang dari cucu nabi yang disebut sayidina Husain. Acara dipadati ribuan pengunjung yang dipusatkan di sebuah kota bernama, Karabela. Bengkulu bukan kota syiah juga bukan kota suni. Ada sejumlah agama lain disana termasuk kristiani. Umat muslim dari semua golongan bersatu dan larut dalam keramaian supra hiroik itu.
Disana nampak terlihat jelas kekuatan dan wibawa islam. Budaya setempat telah berbaur dengan islam dalam aspek perjuangan yang diperankan oleh salah satu dari keluarga nabi. Perasaan cinta kepada nabi dan keluarganya membuat mereka harus setidaknya mengenang pribadi-pribadi agung yang mampu merubah sejarah generasi ke generasi. Bagi rakyat Benkulu, Muharram identik dengan Asyuro meskipun ada yang tidak tau peristiwa yang terjadi secara riil, sehingga yang tersisa dari seluruh kisah itu hanya perayaan simbolik yang diyakini sebagai khazanah budaya islam yang harus dilestarikan.
Dalam bukunya, “Kafilah Budaya”, Dr. Muhammad Zafar Iqbal mengatakan: ” tradisi Muharram di Indonesia diselenggarakan dibeberapa kota, Pariaman, dekat Padang ibu kota propensi Sumatra Barat, Bengkulu, Pidie, Aceh, Gresik dan Banyuwangi jawa timur. Selain itu terdapat juga dibeberapa kota lainnya di Indonesia. Pada zaman dahulu, masyarakat Sumatra Barat, tepatnya di Padang Panjang dan Solok, juga suka menyelenggarakan tradisi Tabut.
Tradisi itu di wilayah-wilayah pesisir Pariaman, Sumatra Barat, berasal dari mazhab Syiah. Tradisi ini dilaksanakan untuk mengenang cucu Rasulallah saw yang terbunuh di padang Karbala. Masyarakat Sumatra mengatakan, “Setelah imam Husain syahid, pasukan Yazid memotong kepala beliau as lalu meletakkanya di ujung tombak dan mengaraknya ke jalan-jalan dan ke pasar-pasar. Dalam keadaan itu, tiba-tiba muncul seekor burung yang bernama, “Buroq”. Burung itu mencabut kepala imam Husain as dari ujung tombak tersebut lalu membawanya ke langit”. H 159-160.
Secara umum menurut Dr Zafar Iqbal, persepsi masyarakat Sumatra Barat khususnya di Padang Panjang dan Solok, memahami sejarah Karbala dan mengetahui siapa yang benar dan yang salah dari para pelaku peristiwa itu. Husain dan Yazid dua nama yang tak asing di telinga mereka. Misi dan tujuan kedua tokoh itu sangat dipahami mereka dan mampu bertahan hingga sekarang, meskipun tengah digoncang orang-orang yang telah tertanam kebencian kepada keluarga nabi, yang itu artinya sama juga benci kepada nabi. Di wilayah Minangkabau, masyarakat Indonesia selalu mengadakan acara tarian tradisional di acara pesta pernikahan. Tarian itu bernama, “tarian Tabut”.
Dalam tarian itu dua kelompok orang saling berperang dengan iringan musik tradisional. Dalam keadaan itu, kepala keluarga datang lalu dengan memegang ujung kayu panjang yang telah dihiasi kertas warna warni ia menggerak-gerakkan kayu tersebut, sehingga kedua kelompok yang sedang berhadap-hadapan itu berpisah. Dikatakan, acara itu secara simbolik menceritakan latihan perang antara imam Hasan dan imam Husain, sehingga dapat disaksikan siapa sekiranya yang paling kuat diantara mereka berdua, dan yang keluar sebagai juara kemudian akan menjadi Khalifah kaum muslim”. (Kafilah Budaya, 162)
Yang perlu dicatat, adanya relevansi cukup kuat antara kultur jawa dan syiah menunjukkan bahwa syiah sudah ada di Indonesia sejak lama. Terlebih, hubungan berbungkus budaya ini kental nuansa agamanya yang dilukiskan sebagai perlawanan hak atas kebatilan. Ini bukti bahwa syiah bagian dari islam yang menyumbang bentuk perjuangan yang sesungguhnya kepada masyarakat indonesia, sebagai contoh sebuah perlawanan anti kemanusiaan dan anti keadilan yang mesti dianut setiap aktivis HAM dimana pun berada.
Orang-orang yang membenci syiah mereka seharusnya berkaca dari kekayaan budaya Indonesia yang sangat berarti. Kebencian mereka terhadap syiah, sama juga dengan membenci negara yang mengapresiasi budaya dan juga membenci sebagian masyarakat sebagai penganut syiah kultural. Apa yang mereka provokasikan tentang syiah adalah apa yang ingin mereka lakukan untuk merevolusi sejarah seperti yang telah dilakukan tirani Umawiyah, dengan berbagai upaya menghapus simbol-simbol ajaran syiah diseluruh dunia. Berbagai cara mereka lakukan.
Di jaman Muawiyah, sholat dibelakang Ali dibiarkan tapi hadist tentang Ali diotak atik. Memuji-muji Ali karena mencintainya, seseorang mesti diintimidasi tapi mengecam dan mencacinya diatas mimbar selama tujuh puluh tahun disunnahkan. Uluk salam kepada orang yang diduga berhaluan cinta Ali, ditangkap dan diintrogasi, bahkan tak jarang nyawanya melayang.
Di jaman sekarang, apa pun yang berbau syiah menjadi target dan dianggap seakan penjahat. Semua tulisan tentang syiah yang tertulis di kitab-kitab sejarah, dirubah dan diganti dengan kata-kata dan nama sesuai kehendak mereka. Video dan gambar-gambar yang beredar di Internet sering dijumpai sebagai hasil karya mereka yang sudah diedit.
Mereka sama sekali tidak percaya dengan sumber syiah asli. Persis seperti Muawiyah dan Khawarij yang menolak Ali apa pun alasan, sebagai sumber otoritatif sunnah nabi yang terpilih secara sah sebagai khalifah keempat setidaknya versi sunni. Apa pun pengertian tentang syiah, adalah sesat dan alat yang selalu dipakai adalah, karena syiah mencaci sahabat, taqiyah, mutah (zina), mitra Israil dan lain-lainnya. Kenapa mereka tidak mau melihat kalau syiah juga sholat menghadap kiblat, berhaji, berpuasa Ramadhon dan seterusnya..?
Jika di jaman Muawiyah, status penulis wahyu dan perawi hadist menjadi alat agar terlihat layaknya sahabat nabi yang baik, kini, neo-Muawiyah tak lagi segan menyatakan musuh Ali dengan mencaci, menfitnah, memteror, bahkan membunuh para pengikutnya yang tersebar diseantero dunia termasuk di Indonesia. Ada batas-batas tertentu dimana sikap Muawiyah tidak menunjukkan permusuhan secara terang-terangan karena takut kepada Ali.
Ia cukup memberikan perintah dengan imbalan tertentu kepada orang-orang yang dipercainya dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Dari masjid sampai media, menjadi tempat propaganda anti Ali dan keluarga nabi yang dimainkan dengan cantik, sehingga banyak sahabat besar seperti, Abu Musa Al-Asyari, Abu Hurairoh, Amar bin Al-Ash, Samurah bin Jundub, Marwan bin Hakam dan lain-lainnya, terpengaruh tipu muslihatnya. Shifin, puncak permusuhan yang dimuntahkan oleh Muawiyah.
Racun yang ditanamkan Muawiyah bereaksi sampai sekarang. Racun yang sangat mahal ini diyakini sangat ampuh membasmi syiah khususnya di Indonesia, karena melibatkan banyak pihak. Dari MUI, sejumlah ormas, lembaga, komunitas, dan tentu juga media mainstreem persis seperti modus yang digunakan Muawiyah. Anehnya, dengan kuasa Allah, syiah sampai sekarang masih eksis. Seharusnya musuh-musuh syiah sadar betapa pun upaya dan biaya mereka untuk menghapus syiah di Indonesia hanya akan berbuah kesia-siaan. Dan lebih jauh, mereka semestinya melek kalau isu mazhab potensial sekali menjadi ajang konflik dan adu domba dari masa ke masa kalau mereka mau membaca sejarah.
Tapi, saya yakin mereka cukup paham bahwa syiah itu adalah benar, setidaknya benar dalam konteks perjuangan melawan dominasi AS-Israil yang secara riil tidak dapat ditolak. Hanya yang bermata rabun yang melihatnya berbeda. Sampai detik ini saya masih yakin sebagian mereka masih sehat matanya. Sukses menghasut sebagian sahabat, Muawiyah menguasakan sunnahnya kepada putranya yang bernama Yazid. Tidak ada dua kepala yang berbeda soal Yazid dan perbuatannya. Seluruh kitab sejarah menuliskan nama Yazid dengan tinta merah alias, penumpah darah, hanya kaum wahabi atau salafi yang terang-terangan membela dan masih melihatnya orang baik. Kaena itu, tak heran kalau di Arab Saudi ada sebuah jalan bernama, Yazid.
Jika pernyataan Ahlu sunah bahwa imam Husain milik bersama itu benar dan memang benar, lalu dengan berbagai upaya kaum wahabi ingin dianggap bagian dari Ahlu sunnah, mengapa mereka harus membela dan melindungi Yazid yang berlawanan dengan akidah Ahlu sunnah? Karena, tidak mungkin Al-Husain dan Yazid sama-sama benar seperti juga keduanya tidak mungkin sama-sama salah.
Jika Ahlu sunnah mengajarkan cinta yang sesungguhnya kepada nabi dan keluarganya, apakah bisa dibenarkan dengan pernyataan cinta juga, kaum wahabi menggunakan musuh-musuh keluarga nabi untuk menyatakan perang kepada syiah? Jika Ahlu sunnah merayakan Asyuro meskipun dengan cara yang berbeda, mengapa sekte wahabi menginkari dan menganggapnya sesat? Apakah masih bisa masuk sebagai Ahlu sunnah? Kalau kedua ormas besar di Indonesia menyatakan syiah benar dan tidak sesat, kenapa para pelopor wahabi dari ujung ke ujung kompak mempertahankan syiah sesat? Padahal, tidak dipungkuri dan saya pribadi jujur meyakini banyak figur-figur berilmu dikalangan wahabi.
Tapi, apa yang membuat mereka getol memusuhi syiah? Apakah mereka menganggap kedua ormas itu salah? Berarti menganggap Ahlu sunnah salah. Dan faktanya, Ahlu sunnah pun mereka perangi dengan selogan tauhid dan anti bidah sampai harus membiayai kendaraan mahal yang disebut, “parade tauhid”.
Sungguh, Asyuro sebuah refleksi totalitas perlawanan terhadap sekecil apa pun dari bentuk kezaliman. Nilai perjuangan anti kemanusian yang ditanamkan oleh imam Husain, sejatinya harus tertanam juga dibenak setiap orang yang menginginkan keadilan. Pelajaran yang memantul dari sahara Karbala, seharusnya menjadi buku pintar kehidupan yang mengajarkan setidaknya bagaimana seseorang harus tidak terjajah bahkan oleh eqonya sendiri.
Meskipun telah menelan banyak korban di beberapa negara tak terkecuali Indonesia, Asyuro tetap hidup dan tidak akan pernah padam selamanya. Pecinta nabi tak akan pernah membiarkan Asyuro terlarang untuk diperingati, seperti juga musuh-musuh nabi tak akan pernah mampu menghancurkan ajaran islam ini, yang telah menjadi sunnatullah diatas bumi.
Karena itu, sabda nabi, “setiap hari adalah Asyuro dan setiap bumi adalah Karbala”, tidak akan pernah lenyap meskipun musuh-musuh Allah berupaya memadamkan cahayaNya.